[Tugas Jurnalistik Online // Vinni Putra Dani // 071411531033]
Di ujung ceracau malam yang lingsir,
di detik lamban takdir yang terus bergulir,
di buah-buah kisut ladang matrimoni,
kucari-cari kabarmu Dolly, oh Dolly.
Meski beritamu kini sedang tak pasti,
yakinlah,
pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi.
Penggalan lirik lagu band Silampukau yang berjudul "Sang Pelanggan" tersebut mengingatkan kita pada Dolly, tempat pergonglian (prostitusi) yang tahun 2014 silam telah resmi ditutup karena penuh kontroversi. Kini kabarnya sudah mulai banyak dan terlihat hasil usaha pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam memberdayakan masyarakat sekitar Dolly yang telah bertahun-tahun menggantungkan diri dari hiruk pikuknya Dolly dalam mencari sesuap nasi. Namun, yang paling membuat penasaran tentu adalah bagaimana kabarnya para pemain utama ladang bisnis birahi ini? Apakah para pelacur dan mucikari sudah "mati"? Ataukah sampai kapanpun mereka akan hidup "abadi" meski tak ada lagi Dolly sebagai tempat sebagaimana mereka dulu mempertahankan detak nadi?
Pertanyaan tersebut terjawab oleh AN (30 tahun), yang merupakan warga sekitar gang Dolly. Ia mengatakan bahwa memang sudah banyak para pelacur yang ia kenal sudah bertobat dan memilih mengikuti kegiatan-kegiatan pemberdayaan dari LSM dan pemerintah agar bisa mencari rezeki yang halal. Namun, tidak semua yang memilh jalan hidup tersebut. Masih ada yang memilih jalan hidup lama sebagai penjajakan diri. Alasannya tentu adalah masalah pemenuhan ekonomi yang begitu cepat dan besar.
AN menjelaskan, salah satu temannya juga ada yang sampai sekarang tetap bertahan sebagai pelacur, namun sifatnya sangat tersembunyi dan sangat ketat dalam memilih calon pelanggannya. AN akhirnya memberikan kontak salah satu pelacur tersebut, sebut saja namanya Putri (bukan nama sebenarnya).
Sampai sekarang, Putri dengan dikoordinir oleh mucikarinya yang tidak mau ia sebutkan identitasnya, masih aktif menjalankan bisnis pergonglian. Secara garis besar ia menjelaskan bahwa praktik prostitusi masih ada hingga sekarang dengan jaringan yang luas dan terkoordinir dengan rapi, namun sayang ia tidak mau menjelaskan lebih dalam tentang hal tersebut.
Ia sekarang tinggal di daerah Surabaya Selatan. Ketika siang hari ia bekerja paruh waktu dari pagi sampai siang hari sebagai pelayan di sebuah restoran di dekat tempat ia tinggal. Dengan latar belakang pendidikannya yang hanya lulusan SMA, ia merasa tidak memiliki keahlian khusus sehingga hanya bisa bekerja sebagai pelayan restoran, namun ia mengaku, dengan gaya hidupnya yang mewah, tidak mungkin hanya mengandalkan penghasilan darisana, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pelayan lelaki hidung belang.
Ia terjun di dunia gelap ini sejak ia lulus SMA, meski sebenarnya ketika SMA sempat ada teman yang menawarkan. Ketika itu aktivitas esek-esek Dolly masih aktif dan legal. Banyak sekali teman sepergaulannya yang juga mencari pemuas gaya hidup mewahnya dengan menjadi PSK (pekerja seks komersial) di Dolly. Namun sejak Dolly ditutup, sampai sekarang hanya sedikit temannya yang bertahan seperti dirinya. "Banyak yang sudah tobat mas", terangnya.
Ketika siang sampai sore hari, Putri sering hanya bersantai-santai di rumah kontrakannya dimana ia tinggal sendiri, terkadang ia pergi jalan-jalan ke mall, restoran, atau sekedar duduk-duduk di taman-taman yang ada di Surabaya. Ketika malam matahari mulai lingsir, biasanya ia tetap bersantai-santai di rumah. Sambil menonton televisi ia terus mengawasi setiap pesan yang muncul dalam gawainya. Ketika ada pesan dengan kode tertentu, dengan segera ia akan berdandan begitu membangkitkan birahi. Mulai dari gincu merah menyala, pakaian ketat yang juga dengan warna yang menyala-nyala, sampai rambut yang diurai sedemikian rupa yang membuat pria yang memandangnya ingin setidaknya berbincangn dengannya barang sebentar.
"Akhirnya ada pelanggan, jarang-jarang ada soalnya", kata Putri sambil terus berdandan. Ia berkata bahwa sangat sulit mencari pelanggan dibandingkan dahulu ketika masih ada Dolly. Sekarang ia mengandalkan jaringan supir taksi tertentu yang menawarkan jasa pemuas birahi kepada penumpang-penumpang yang sekilas terlihat tajir dan "butuh kasih sayang". Putri menjelaskan bahwa cara penawarannya juga tidak sembarangan, dengan basa-basi dan kode-kode tertentu sampai si supir yakin bahwa penumpangnya adalah pelanggan yang tepat, baru akhirnya terjadi proses penawaran. Jika sepakat, si supir akan menurunkan calon pelanggan ke suatu tempat, kemudian pergi, lalu kembali dengan wanita-wanita seksi.
Setelah bertemu dengan Puti, penulis ingin membuktikan langsung bagaimana keterlibatan para supir taksi dalam proses penawaran bisnis birahi ini. Namun ternyata sulit membuka gerbang penawaran, entah karena sangat sedikit supir taksi yang ikut campur bisnis tersebut, atau karena begitu ketatnya seleksi calon pelanggan hingga penulis tidak lolos.
Setidaknya, menurut YA (25 tahun), yang merupakan salah satu mahasiswa universitas swasta di Surabaya, apa yang dikatakan oleh Putri memang benar, meski memang sangat sedikit supir taksi yang terlibat. YA berkata tak harus menunggu tawaran dari supir taksi tersebut, jika ingin, bisa langsung jemput bola ke panti pijat dan wisma tertentu yang masih aktif menjalankan bisnis prostitusi. Namun, dengan alasan keamanan, penulis memutuskan untuk tidak melanjutkan proses investigasi.
Darisini, dapat kita ketahui bahwa pasca tutupnya Dolly, ternyata tidak mudah dalam menghentikan praktik prostitusi. Seperti yang dikatakan oleh Putri, bahwa tawaran penghasilan yang sangat besar namun dengan usaha yang sedikit yang membuatnya dan para pelacur lainnya bertahan. Mental yang demikian yang membuat prostitusi bisa jadi sampai kapanpun tidak akan pernah berhenti. Ditambah dengan sistem pendidikan yang tidak mencetak keahlian justru sekedar wawasan, membuat masyarakat bingung harus bagaimana dalam memenuhi urusan perut ditengah ketatnya persaingan pekerjaan era globalisasi. Sehingga membuat memenuhi urusan benda di bawah perut menjadi alternatif yang menggiurkan.